Kimono

Mengenal Kimono, Pakaian Tradisional Jepang yang Mendunia

Sahabat Silir tentu mengenal kimono, pakaian tradisional Jepang yang ikonik dan memiliki bentuk yang khas. Pakaian tradisional ini memang mendunia, karena bangsa Jepang selalu bangga memakai dan mengenalkannya pada bangsa-bangsa lain tentang kebudayaan mereka termasuk dalam hal berbusana.

Hal itulah yang patut dicontoh pada diri bangsa Jepang. Meski modernisasi melingkupi kehidupan mereka sehari-hari, bahkan menjadi yang terdepan dalam bidang teknologi, tetapi Negeri Sakura masih tetap menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang mereka. Salah satu diantaranya dengan masih mengenakan kimono pada momen-momen tertentu.

Sejarah Kimono

Dalam bahasa Jepang, ‘Ki’ memiliki arti ‘pakai’ sedang ‘mono’ artinya ’barang’. Dengan demikian, ‘kimono’ berarti barang yang dipakai atau dikenakan yang secara harafiah diartikan ‘pakaian’.

Sebagaimana bangsa-bangsa lainnya, cara berpakaian bangsa Jepang dari masa ke masa mengalami perubahan karena harus mengikuti situasi dan kondisi termasuk iklim yang ada. Bentuk kimono sebagaimana yang ada sekarang, juga mengalami tahap demi tahap, dalam arti bentuk kimono bangsa Jepang pada masa lampau tidak sama dengan yang ada sekarang.

Evolusi kimono secara bertahap tersebut dimulai sejak jaman zomon dan zaman Yayoi, berlanjut ke periode Kofun, Nara, Heian hingga zaman Kamakura dan zaman Muromachi.

BACA JUGA: Nara Deer Park, Destinasi Wisata Jepang yang Ramah Anak

Barulah pada awal periode Edo, kimono dibuat sebagaimana pakaian tradisional Jepang seperti yang ada sekarang, yaitu bentuknya seperti huruf ‘T’ dengan lengan panjang dan berkerah serta memiliki panjang hingga mata kaki.

Kimono pria berbentuk setelan sedang kimono wanita berbentuk terusan. Untuk memakainya, kimono dilengkapi dengan sabuk kain yang disebut obi serta alas kaki yang disebut zori atau geta.

Kimono pada awal periode edo tersebut berlanjut ke zaman edo, era Meiji, Taisho hingga era Showa atau pada masa Perang Dunia II. Pada era Showa, kimono sempat ditinggalkan karena terbawa situasi perang.

Pasca Jepang kalah perang, kimono mulai marak lagi dikenakan meski kemudian ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Baru pada pertengahan tahun 1960’an kimono kembali digunakan sebagai pakaian sehari-hari dan popularitasnya semakin terangkat sejak diperkenalkan kimono dari bahan wol.

Model dan Fungsi Kimono

Sebagaimana pakaian tradisional yang dimiliki bangsa-bangsa lain, kimono tidak asal dikenakan begitu saja, tidak seperti pakaian modern seperti kaos yang bisa dipakai oleh siapa saja dan kapan saja.

Pada sisi penggunaan, kimono terbagi atas dua jenis yaitu Homongi atau Kimono Formal dan Komongi atau Kimono Kasual.

Homongi dipakai pada acara-acara resmi seperti upacara pernikahan, upacara minum teh, melihat pertunjukan teater, kabuki atau Sumo dan acara-acara formal lainnya. Homongi panjangnya melewati mata kaki dan dilengkapi dengan sandal berhak tinggi yang dinamakan Zori.

BACA JUGA: Melongok Sejarah Jepang Di Kastil Matsumoto

Sebaliknya, Komongi merupakan kimono kasual yang dipakai untuk kegiatan sehari-hari dengan panjang di atas mata kaki dan saat mengenakan Komongi dilengkapi dengan sandal yang disebut Geta.

Model antara kimono pria dan wanita memiliki perbedaan. Kimono pria disebut Hakama sedang kimono wanita yang belum menikah disebut Furisode dengan bentuk lengan yang lebih panjang dan lebar. Setelah menikah barulah wanita boleh memotong lengan kimono menjadi lebih pendek.

Kimono juga hampir sama dengan batik yang terdiri dari berbagai motif dan bahan yang disesuaikan dengan daerah asal produksi. Kimono dari Okinawa misalnya bahannya lebih tipis karena iklim daerahnya cenderung panas. Sebaliknya, untuk daerah-daerah yang cenderung dingin, kimono yang diproduksi berbahan lebih tebal dan terdiri atas dua lapis.(*)

Leave a Comment

Your email address will not be published.